Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan agar Krisis Tak Lagi Terulang

Sebagai masyarakat umum, sering kita mendengar pemberitaan dalam hal moneter baik di media cetak maupun daring. Seperti saat ini, adanya wacana dari Bank Indonesia untuk melakukan penurunan suku bunga pasar dan merilis kebijakan akomodatif yaitu melalui penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 50 basis poin (bps) sedikit banyak menarik perhatian masyarakat (CNBC, 2019). 

Selain itu, banyak upaya-upaya dalam bidang stabilitas keuangan seperti kebijakan makroprudensial maupun mikroprudensial yang berjalan beriringan antara Bank Indonesia dan juga Otoritas Jasa Keuangan (OJK), semua itu dilakukan pemerintah untuk menjaga kinerja sektor keuangan yang secara langsung akan mempengaruhi perekonomian dunia.

Gambar sistem menghitung keuangan
Gambar sistem menghitung keuangan
Masa krisis keuangan puncak tahun 1998 pun tak ingin diulang kembali. Melihat pertengahan tahun 1997, dengan terjadinya krisis nilai tukar rupiah yang meluas, sangat memberatkan sektor keuangan kala itu. 

Sepanjang tahun 1998, rupiah terdepresiasi dengan lebih dari 70% pada titik nilai tukar mencapai Rp14.700 per US$, yang mencapai puncaknya pada bulan Juli 1998. Tahun 1997 Product Domestic Bruto (PDB) tumbuh sebesar 4,7% dan berkontraksi hingga minus 13,1% di tahun 1998.

Awal inflasi yang sudah tinggi berkisar 8,1%  antara tahun 1991 hingga 1996, pada tahun 1998 meningkat tajam menjadi 77,6%, yang sebagian besar berasal dari barang-barang yang diperdagangkan secara internasional. 

Upaya yang terus gagal dalam menahan laju depresiasi rupiah, membuat Bank Indonesia pada bulan Juli 1998 menaikkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) satu bulan hingga 70 %. Pada tahun 1998, akibat permintaan domestik yang menurun tajam, impor barang konsumsi dan ekspor migas mengalami penurunan masing-masing 34% dan 36% (Karmeli dan Fatimah, 2008).

Krisis ini menyebabkan kompleksitas permasalahan dalam hal pemulihan ekonomi. Keberadaan krisis multi dimensi ini pun seakan memutarbalikkan kesuksesan perekonomian Indonesia sepanjang hampir tiga dekade di pemerintah Orde Baru, sejak dicanangkannya Repelita Pertama pada tahun 1969.

Hal ini dimulai dengan dampak dari proses penularan, akibat dari tertekannya rupiah di pasar mata uang bersamaan dengan negara-negara tetangga, dimulai dengan depresiasi yang drastis dari bath Thailand. Namun dengan langkah kebijakan yang dilakukan dan dengan implikasinya, terjadi proses yang bersifat downward spiral dari proses penularan. 

Ketidakpercayaan terhadap rupiah menjalar menjadi ketidakpercayaan terhadap perbankan (adanya flights to quality dan flights to safety) yang menimbulkan krisis perbankan. Krisis ini sekaligus menjalar kepada nasabah dan memengaruhi secara negatif terhadap sektor riil. Sejumlah kebijakan pun tergopoh-gopoh mencoba diterbitkan namun krisis belum juga mereda, hingga akhirnya terpaksa meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia dengan melakukan utang luar negeri yang tidak kecil jumlahnya.

Kasus di Indonesia dapat menjadi gambaran bagaimana pemerintahan di dunia sekarang ini dituntut untuk lebih agresif merespon kondisi pasar ekonomi dalam negeri maupun dunia. 

Menganalisis kasus di Indonesia berbeda pula dengan kasus di Amerika Serikat, yang diakibatkan oleh adanya krisis yang dipicu permasalahan subprime mortgage pada tahun 2018 di sektor keuangan. Keterkaitan antara sektor keuangan dan sektor riil ini mengakibatkan biaya krisis menjadi tinggi dengan waktu pemulihan yang tidak singkat.

Dalam dokumentasi Crisis and Response An FDIC History 2008 -- 2013, negara adidaya seperti Amerika Serikat dihadapkan dengan krisis keuangan paling parah sejak depresi hebat tersebut. Krisis keuangan pun berakibat menghasilkan kontraksi ekonomi yang berkepanjangan, resesi hebat, dengan dampak yang menyebar ke seluruh dunia. Penyebab krisis keuangan pun terjadi dalam periode boom dan bust perumahan pada pertengahan 2000-an.

Krisis keuangan yang menyusul keruntuhan pasar perumahan begitu parah sehingga, untuk perrtama kalinya pemerintah Amerika Serikat (AS) beralih ke ketentuan hukum yang telah diberlakukan sebagai bagian dari Deposit Federal Insurance Improvement Act tahun 1991 untuk membantu menangani risiko sistemik.

Sebenarnya ketentuan ini melarang pemberian bantuan kepada bank yang gagal jika dana Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) akan digunakan untuk melindungi deposan yang tidak diasuransikan dan kreditor lainnya. Namun Undang-Undang tersebut juga memuat ketentuan yang memungkinkan pengecualian terhadap larangan ketika terjadi kegagalan suatu lembaga dapat menimbulkan risiko sistemik.

Risiko sistemik tersebut bukan hanya menyebabkan krisis keuangan, melainkan juga krisis perbankan, yang menantang setiap aspek operasi FDIC, tidak hanya karena tingkat keparahannya tetapi juga karena kecepatan masalah tersebut terungkap.

Ada kerugian besar dalam output ekonomi dan penurunan besar dalam pekerjaan, kekayaan rumah tangga, dan indikator ekonomi lainnya. Pemerintah Amerika Serikat bukan hanya kehilangan 8,8 juta sektor lapangan pekerjaan, tetapi setengah kerugian terjadi dalam enam bulan yang mengikuti puncak krisis keuangan pada musin gugur di tahun 2008.

Pada tahun 2009, dampak semakin meluas dan memuncak dengan diketahuinya $ 2,8 juta pinjaman hipotek dalam penyitaan, terhitung empat kali lipat dari angka pada tahun 2005. Saat itu pun Federal Reserve memprakarsai banyak program yang dirancang untuk menyediakan likuiditas jangka pendek bagi bank dan lembaga keuangan lainnya serta kepada peminjam dan investor.

Dalam enam minggu setelah tanggal 15 Sepetember 2008, kebangkrutan bank investasi Lehman Brothers, neraca Federal Reserve naik dua kali lipat menjadi sekitar $ 2 triliun. Empat hari setelahnya, Departemen Keuangan mengumumkan bahwa mereka akan memberikan jaminan untuk pasar uang rekasadana lebih dari $ 3,5 triliun dalam aset.

Pada tanggal 3 Oktober, Kongres memberi wewenang sebesar $ 700 miliar yang akan digunakan untuk menopang modal lembaga keuangan. Enam hari setelahnya, FDIC mengumumkan Program Jaminan Likuiditas Sementara yang akhirnya menjamin lebih dari $ 600 miliar utang yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan dan afiliasinya.

0 Response to "Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan agar Krisis Tak Lagi Terulang"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel